Definisi Kesetaraan Gender
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan
oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga
gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari
waktu ke waktu.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender
berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan
perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan
demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab
antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial
budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
Sedangkan Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional
(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan minatnya
ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Ciri-Ciri Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Ciri-ciri kesetaraan Gender dalam pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada setiap
jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik dan agama dan lokasi
geografi publik
2. Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami bias gender
3. Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu
4. Pendudukan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman
5. Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya
Kesetaraan Gender dalam pendidikan
1. Meningkatkan akses terhadap pendidikan yang bermutu, relevan dan daya saing
2. Memberikan kesempatan yang setara kepada anak laki-laki dan perempuan untuk mencapai potensi mereka
3. Mewujudkan hak dasar akan pendidikan bagi laki-laki dan perempuan
4. Mewujudkan undang-undang disdiknas No.20 tahun 2003 dan rensta
Depdiknas 2005-2009 serta tujuan pendidikan untuk semua untuk tahun
2015, Menjamin menjelang tahun 2015 semua anak, khususnya anak perempuan
anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas,
mempunyai akses pada dan menyeleaikan pendidikan dasar yng bebas dan
wajib dengan kualitas yang baik Penghapusan kesenjangan gender pada
pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2015 dengan fokus pada
kepastian sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap akses dalam memperoleh
pendidikan dasar yang bermutu.
Fenomena ketimpangan gender dalam biadang pendidikan dalam masyarakat
indonesia memang masih kuat. Dalam banyak keluarga anak perempuan tidak
menjadi prioritas untuk melanjutkan pendidikan.Pada sekolah kejuruan,
ada steretip bahwa siswa perempuan tidak cocok dengan sekolah kejuruan
tekhnologi. Pada [erguruan tinggi mahasiswa perempuan lebih cocok pada
ilmu-ilmu lembut seperti ilmu-ilmu sosial, sastra,ekonomi dan kurang
cook dengan ilmu tekhnologi.Demikian piula pada jumlah tenaga kerja
perempuan pada sekolah dasar lebih banyak pada sekolah dasar dan semakin
berkurang pada sekolah dan perguruan tinggi.
Permasalahn gender dalam dunia pendidikan tampak pada aspek-aspek
pemerataan pendidikan, pengelolaan pendidikan dan sumberdaya manusianya,
kurikulum bahan ajar proses pembelajaran, dan program studi serta
penjurusan.Jelas terdapat sejumlah faktor yang menimnbulkan kesenjangan
gender dalam praktek pendidikan yang relatif tidak berubah.Salah satu
faktor utamanya dalah faktor sosial budaya yang sangat sulit diubah
dalam waktu yang sangat singkat. Padahal, hasil-hasil penelitian
menunjukan bahwa kesetaraan gender dalam dunia pendidikan memberikan
dampak yang signifikan terhadap dampak pembangunan sektoral serta
peningkatan produktifitas secara keseluruhan.
Gejala kesenjangan gender dalam pendidikan terjadi lebih buruk
dinegara-negara berkembang. Kesenjangan terjadi diantara laki-laki dan
perempuan dalam mengakses lembaga-lembaga pendidikan sekolah maupun luar
sekolah.Kesenjangan dalam akses menyebabkan rendahnya partisipasi
perempuan dalam mengikuti berbagai jalur ,jenis,dan jenjang
pendidikan.Lebih dari itu perempuan belum mampu melkukan peran yang
seimbang denngan laki-laki dalam proses penagmabilan keputusan dibidang
pendidikan ,baik melalui lembaga-lembaga resmi maupun keluarga.
Akibat kesenjangan gender dalam bidang pendidikan, perempuan yang
merupakan setengah penduduk dunia masih merupakan segmen masyarakat yang
belum diberdayakan sehingga kurang produktif.Kesenjangan gender dalam
dunia pendidikan dianggap pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia
yang perlu di eliminasi melaui upaya-upaya yang sistematis dan
terprogram.Oleh karena itu disetiap negara termasuk indonesia telah
menetapkan komitmennya utuk menghilangkan atau mengurangi kesenjangan
gender dalam bidang pendidikan.
Maka dari itu kesetaraan gender dalam lembaga pendidikan sangatlah
penting yaitu dengan melakukan sosialisasi gender.Kesetaraan gender
sendidri mempunyai arti yang sangat luas seperti:
1. Memperhatikan dan menghargai sifat ,sikap,apirasi dan menghargai kebutuhan laki-laki dan permpuan.
2. Hak, kesempatan dan tanggungjawab tidak tergantung pada apakah mereka lahir sebagai laki-laki atau perempuan.
3. Bebas mengembangkan ketermapilan dan menentukan pilihan tanpa
dibatasi oleh stereotip, serta aturan –aturan yang kaku maupun biasa
gender.
4. Laki-laki dan perempuan bisa hidup dalam kesetaraan guna memenuhi kebutuhan hidup.
Gender dalam pendidikan sendiri memepunyai arti yang sangat penting yaitu :
a) Bukan sekedar mencapai kesenjangan gender
b) Pendaftaran atau penerimaan siswa
c) Kurikulum
d) Buku teks
e) Metode atau proses belejar mengajar
f) Pencapaian prestasi dan penyelesaian studi
g) Pelatihan tenaga pendidik
h) Pengembangan karir
i) Fasilitas atau lingkungan belajar
j) Manajemen pengelolaaan sekolah dan kelas
Problematika Gender dan pendidikan
Dalam dekrasi hak-hak asasi manusia dalam pasal 26 di nyatakan bahwa
“setiap orang berhak mendapaykan pengajaran.Pengajaran harus dengan
Cuma-Cuma setidaknya untuk sekolah rendah dan tingkat dasar.Pengajaran
harus mempertinggi rasa Saling mengerti, saling menerima serta
persahabatan semua bangsa ,golongan –golongan kebangsaan serta harus
memejukan PBB dalam mempertahankan perdamaian bangsa.
Terkait deklarasi diatas, sesungguhnya ketika pendidikan tidak hanya
diamggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya
pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial
,maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil dalam terbentuknya
relasi gender dalam masyarakat.
Statment diatas mengemukan karena telah terjadi banyak ketimpanagan
gender di dalam masyarakat yang diasumsikan muncul karena terdapat bias
gender dalam pendidikan, diantara aspek yang muncul karena terdapat bias
gender dalam pendidikan dapat dilihat dalam perumusan kurikulum dan
dapat dilihat pada rendahnya kulaitas pendidikan. Implementasi kurikulum
pendidikan sendiri terdapat di dalam buku ajar yang digunakan
disekolah-sekolah. Realitas yang ada di dalam kurikulum pendidikan
(agama atau umum) masih bannyak yang menonjolkan laki-laki ada sektor
publik sementara perempuan pada sektor domestik. Dengan kata lain
kurikulum yang memuat bahan ajar bagi siswa, belum bernuansa gender baik
bernuansa gambar maupun ilustrasi kalimat yang dipakai dalam penjelasan
materi.
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanya diskriminasi
gender dalam dunia pendidikan. Ada empat aspek yang disorot oleh
Departemen Pendidikan Nasional mengenai permasalahan gender dalam dunia
pendidikan yaitu akses, partisiapasi,proses pembelajaran dan penguasaan.
Yang dimaksud oleh aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit
dicapai. Misalnya banyak sekolah-sekolah dasar disetiap kecamatan namun
untuk jenjang pendidkan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak
banyak.Tidak semua wilayah mempunyai tingkat sekolah seperti tingkat SMP
dan seterusnya hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh
untuk mencapainya.Dilingkungan masyarakat yamg masih tradisional
,umumnnya orang tua masih segan untuk mengirimkan anak perempuannya
untuk sekolah jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh
karena itu banyak anak yang terpaksa tinggal dirumah karena
terpaksa.Belum lagi tugas rumamh tangga yang banyak di bebankan pada
anak perempuan membuat mereka sulit untuk meninggalkan rumah. Akumulasi
dari faktor-faktor ini membuat banyak anak perempuan cepat meninggalakan
bangku sekolah.
Faktor kedua yaitu aspek partisipasi dimana didalam nya banyak tercakup
faktor bidang studi dan statistik pendidikan.Dalam masyarakat kita di
indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang
meletakkan yugas utama perempuan di bidang domestik.sering kali anak
perempuan terhambat untuk mendapatkan kesempatan yang luas dibidang
formal.Sudah sering dikeluhkan bahwa sumber-sumber pendanaan
terbatas,maka yamg harus didahukukan untuk sekolah adalah anak
laki-laki.Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria sebagai kepal
rumah tangga dan pencari nafkah kelak.
Sementara pada aspek aspek proses pemberdayaan masih juga di pengaruhi
oleh stereotype gender.Yang termasuk dalam materi proses pembelajran
adalah materi pendidikan seperti misalnya yang terdapat dalam
contoh-contoh soal seperti dimana kepemilikan selalu mengataskan namakan
laki-laki.Dalam aspek proses pembelajaran ini bias gender juga terdapat
dalam buku-buku pembelajaran seperti misalnya semua jabatan formal
dalam buku seperti camat, direktur digambarkan dijabat oleh
laki-laki.selalin itu ilustrasi gambar juga bias gender yang seolah-olah
menggambarkan bahwa tugas wanita adlah sebagai ibu rumahtangga.
Aspek yang terakhir adalah aspek penguasaaan, Kenyataanya banyak angka
buta hufuf di indonesia di dominasi oleh permpuan.Mungkin pada awalnya
wanita di indoesia menguasai baca tulis, namun karena pemanfaatanya yang
minim membuat mereka lupa lagi yang telah mereka pelajari.Kondisis ini
secara tidak langsung juga mematikan akses masyarkat ke media hinga
kemajuan peranan perempuan indonesia banyak yang tidak terserap oleh
masyarakat dan mereka tetap memegang nilai-nilai lama yang tidak
teeformasi.
Perempuan yang selalu di dorong untuk mengalah, bersikap lemah lembut
dan menerima kepemimpinan dan bimbingan laki-laki membuat mereka selalu
mempertanyakan peresetujuan dari pihak laki-laki untuk kemajuan
–kemajuan dan kesempatan-kesempatan yang mereka dapatkan.
Bias Gender ini tidak hanya berlangsung dan di sosialisasikan melaui
proses serta sistem pembelajaran tetapi juga melalui pendidikan di dalam
lingkungan keluarga.Pembelajaran di sekolah dengan komponen
pembelajaran seperti media, metode serta buku ajar yang memadai menjadi
pegangan para siswa sebagaimana di tunjukan oleh Mutholib .Bias gender
dalam pendidikan ternyata syarat dengan bias gender.
Keadaan diatas menunjukan adanya ketimpangan atau bias gender yang
sesungguhnya merugikan baik laki-laki maupun perempuan.Membicarakan
gender tidak berarti membicarakan perempuan saja .Gender dimaksudkan
sebagai pembagian sifat ,peran dan kedudukan tugas laki-laki dan
perempuan yang diterapkan oleh masyarkakt bedasarkan norma, adat
istiadat dan kepercayaan masyarakat.
Paradigma-paradigma pendidikan
Paling tidak ada tiga macam paradigma yang bisa mewarnai gerak langkah
lembaga-lembaga pendidikan. Bagi mereka yang menganut paradigma
konservatif, ketidaksetaraan gender merupakan hukum alam, dan oleh
kkarenaya mustahil untuk di hindari, karena ia mmerupakan ketentuan
sejarah atau bahkan takdir Tuhan.Perubahan sosial bukan sesuatu yang
perlu diperjuangkan dengan serius, karena dikhawatirkan justru
akanmembawa manusia pada kesengsaraan baru. Bagi penganut paradigma ini,
menjadi miskin tertindas dan terpenjara adalah buah dari keslahan
mereka sendiri, karena kelalaian dan kemalasan mereka untuk bekerja
keras.Jika mereka mau keadaan dapat berbalik pada mereka .Kuam
konservatif beranggapan bahwa harmoni dalam masyarakat merupakan hal
yang penting agar konflik dapat di hindari.
Paradigma liberal menganggap bahwa persoalan politik dan ekonomi tidak
berkaitan langsung dengan pendidikan. Oleh karenanya usaha-usaha
pemecahan persoalan pendidikan yang dilakukan pada umumnya yaitu
usaha-usaha reformasi yang bersifat kosmetik yaitu pembanguna kelas dan
fasiliatas baru, memodernkan peralatan sekolah, pengadaan laboratorium
atau komputer dsb. Yang secara umum terisolasi dari sistem dan struktur
keadilan kelas, gender, dominasi budaya , represi politik yang ada dalam
masyarakat.
Pendidikan justru berfungsi untuk menstabilkan norma dan nilai
masyarakat yang menjadi media untuk mensosialisasikan dan memproduksi
nilai-nilai tata susila dan nilai-nilai keyakinan agar masyarakat luas
berfungsi dengan baik.Paradigma ini pada umumnya berupaya untuk
membangun kesadaran naif, dimana pendidikan tidak mempertanyakan sistem
dan struktur . Bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap udah baik
atau given oleh karenanya tidak perlu dipertanyakan.
Paradigma yang ketiga adalah paradigma kritis, yang memandang pendidikan
sebagai arena perjuangan politik.Pendidikan dan paradigma ini
mengagendakan perubahan struktur secara fundamental dalam ekonomi
masyarakat dimana ia berada.Bagi mereka, kelas dan diskriminasi gender
dalam masyarakat tercermin pula pada dunia pendidikan.Dalam prespektif
ini urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap yhe
dominan ideology, kearah transformasi sosial.
Tugas utama pendidikan Dengan demikian adalah menciptakan ruang agar
sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan
dekonstruksi dan advokasi untuk menuju sistem pemerintahan yang lebih
adil.Paradigma kritis ini sekaligus mengadopsi kesadaran kritis dengan
cara melatih anak didik untuk mampu mengidentifikasi segala bentuk
ketidakadilan.
Paulo freire, mengecam pendidikan yang selama ini dianggap sebagai
sumber kebijakan sebagian telah menjadi penindas yang ulung.Pendidikan
yang pada umumnya dianggap memiliki misi umum untuk mencerdaskan bangsa
ternayat malah berperan aktif dalam mengerdilkan anak didik, karena
tidak mampu membuat mereka lebih humanis dan lebih manusia.Pendidikan
yang selama ini diperccaya memikili tugas untuk membukakan pikiran dan
nurani manusia akan berbagai kesadran palsu yang tumbuh dalam masyarakat
justru turut serta menjadi pencipta kesadrann-kesaran palsu sndiri dan
menjadi pengekang kebebasan, dengan cara-cara yang terselubung.
Jika kita setuju dengan freire, tentu kita akan dengan jeli mencermati
kedudukan kita sebagai pendidik,untuk mempertanyakan apakah selam ini
kita telah mampu membukakan mata anak-anak didik kita terhadap berbagai
kesdaran palsu, yang biasanya berjubah kedermawanan atau kemuliaan.atau
bahkan tanpa kita ketahui kita telah bersetubuh dengan para penindas dan
menjadi ujung tombak mereka dalam rangka melipur lara anak didik kita,
agar mereka tidak mereasa bahwa meeka telah menjadi objek penindasan.
Membangun pendidikan berspektif gender di sekolah
Jika sekolah memilih jalan utuk tidak sekedar menjadi pengawet atau
penyangga nilai-nilai tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif
dengan berkolaborasi dengan kebuttuhan jaman,maka menjadi salah satu
tugas sekolah utuk mencegah berlangsungnya ketidakadilan gender yang
selam ini terbungkus rapi dalam keadaan-keadaan palsu yang berkembang
dalam masyarakat.Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak
masyarakat sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk membomgkar dan
mengubah kepalsuan –kepalsuan tersebut.sekaligus mentransformasikanya
menjadi praktik-praktik yang lebih berpihak kepada keadilan sesama
terutama keadilan bagi kaum perempuan.
Analisis gender di lembaga sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam suatu institusi pendidikan, kita tidak
dapat melangkah berdasarkan asumsi-asumsi belaka.tapi berdasarkan
data-data yang lebih konkrit yang di dapat dari pengamatan, penelitian
dan analisis kritis terhadap sekolah.Data-data inilah yang kemudian
dijadikan patokan untuk melangkah dan mengambil keputusan-keputusan
strategis dalam melakukan perubahan-perubahan yang di
butuhkan.Pengamatan itu biasnya diarahkan pada elemen-elemen yang
biasnya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga.
Pendidikan kesadaran gender memang tidak harus dicreet, atau terpilih
dari pembelajaran yang lain, tapi ia juga tidak bisa di perlakukan
sebagai sampiran belaka.Pendidikan gender yang hanya bisa disampirkan
pada pembelajaran-pembelajaran yang ada biasanya bersifat longgar dan
mudah kehilangan arah.Kecuali itu karena miskin kontrol maka sangat
mudah melemah atau bahkan menghilang.Dengan memperlakukan pendidikan
gender ssebagai program yang sekaligus menebar atau terintegrasi dengan
mata pelajaran yang lain., ia akan memilki tanggug jawab dan kontrol
yang lebih besar.
Guru/ pendidik sebagai pilar
Guru/ pendidik/ kiyai/ ustadz dan terutama lagi ustadazah atau guru
perempuan pasti menjadi pilar utama gender meanstroaming. Karena gender
merupakan ideology yang sangat tampak pada perilaku dan kehidupan kita
sehari-hari.Pada masyarakat ekolah pada umumnya masih menganut budaya
paternalistik, contoh perilaku berkeadilan gender menjadi sangat penting
. Dalam kondisis sedemikian maka harus di upayakan guru mendapat akses
terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gennder terlebih dahulu,
untuk membukakan pikiran akan adanya persoalan tersebut.Karna persoalan
gender merupakan pesrsoalan buudaya, maka pendidikan gebder terhadap
guru ini mungkin tidak dapat dilakukan secara konfrontasi dalam jangka
waktu yang pendek.
Metode dan materi pembelajaran
Seperti diketahui metode pembelajaran pada umumnya dilakukan oleh
sekolah adalah pembelajaran yang lebih menekan kan pada transmisi
keilmuan klasik yang memungkinkan adanya penerimaan ilmu secara bulat
(taken for granted) yang tak terbantahkan yang memberi ruang gerak yang
sempit bagi dialog dan diskusi kritis.Sementara itu permasalah gender
sarat dengan problematika-problematika kultural sosilayang sulit di
selesaikan tanpa adanya dialog-dialog dan diskusi.Metode pembelajaran
ini ika di terapkan apaadanya jelas tidak akan membuahkan hasil yang
baik.Oleh sebab itu harus di upayakan adanya kesempatan terjadinya
dialog dan diskusi-diskusi. Agar konsep-konsep penting pendidikan gender
dapat lebih terserap oleh para peserta didik.karena kurikulum sekolah
ppada umumnya sudah mapan.
Bahasa bukan persoalan sepele
Bahasa merupekan unsur terpenting dalam pendidikan peka gender, karena
idelogi di dalam bahasa , lewat pilihan kata, tekanan-tekanan,
konstruksi kalimat atau ujaran yang di gunakan dalam komunikasi baik
tertulis maunpun lisan.Bahasa yang dimaksud juga tidak terbatas pada
bahasa verbal tapi juga termasuk dalam bahasa non-verbal. Bahasa tubuh
seperti cara berslaman ,memberi penghormatan memandang dan mengerlingkan
menyiratkan makna yang mengandung muatan gender.Menyepelekan peran
bahasa dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan unsur
penting dalam pendidikan.
Usaha untuk menghentikan bias gender terhadap seluruh aspek kehidupan
yaitu dengan cara pemenuhan kebutuhan praktis gender. Kebutuhan ini
adalah jangka pendek dan mudah dikenali hasilnya ,namun usaha untuk
melakukan pebongkaran bias gender harus dilakukan mulai dari rumah
tangga hingga pribadi masing-masing hingga sampai pada kebijakan
pemerintah dan negara ,tafsir agama bahkan sampai pada epistemologi ilmu
pengetahuan.Untuk itu berbagai aksi untuk menjawab tantangan strategis
seperti melakukan kampanye, pendidikan kritis , advokasi untuk merubah
kebijakan.
Menjauh dari sifat pesimisme maka hal –hal yang dapat dilakukan :
a) Meningkatkan partisipasi pendidikan
b) Meningkatkan kesadaran umum dan relevansi pendidikan
c) Mengembangkan menejemen pendidikan sehingga responsif gender.
Gender dalam proses pengelolan pendidikan
Yang dimaksud dengan proses pengelolaan pendidikan adalah keseluruhan
proses mekanisme pendayaan sumber daya pendidikan utuk mengatur jalanya
sistem penidikan nasional pada setiap bentuk kegiatan pengelolaan
pendidikan mulai dari mulai proses pengambilan keputusan ,perencanaan
,pengelolaan sampai dengan pelaksanaan operasional pendidikan.Setiap
keputusan yang diambil oleh pimpinan, sejak tingkatan strategis sampai
dengan tingkatan operasional,harus dijabarkan seccara konsisten ke dalam
langkah-langkah opersional pengelolaan.
Setiap keputusan yang diambil oleh pimpinan, sejak tingkatan
strategis sampai dengan tingkatan operasional.Harus dijabarkan secara
konsisten ke dalam langkah-langkah operasional pengelolaan. Sehingga
pelaksanaan pendidikan benar-benar mencerminkan tujuan
kebijaksanaan.Oleh karena itu kesenjangan gender yang terjadi dalam
keseluruhan proses pengelolaan dan pelaksanaan setiap satuan pendidikan
akan sangat dipengaruhi oleh keputusan yang diambil oleh pemimpin.
KESIMPULAN
Dalam masalah pendidikan di Indonesia, perempuan masih kurang mendapat
dukungan untuk menuntut pendidikan seperti contoh di Indonesia saat ini
masih beranggapan bahwa wanita kurang cocok dibandingkan dengan
laki-laki dalam menimbah ilmu di sekolah kejuruan, menengah atas maupun
perguruan tinggi karena saat ini masyarakat bahwa khusus wanita adalah
lebih berperan dalam masalah rumah tangga dan tidak diwajibkan untuk
menimbah ilmu pendidikan setinggi-tingginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar